SITTI NURBAYA

(Kasih Tak Sampai)
Pengarang : Marah Rusli (7 Agustus 1889-17 Januari 1968)
Penerbit : Balai Pustaka
Hampir semua kritikus sastra Indonesia menempatkan novel Sitti Nurbaya ini sebagai karya penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Secara tematik, seperti yang disinggung H.B. Jassin, Zuber Usman, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, maupun Teeuw, novel ini tidak hanya menampilkan latar social lebih jelas, tetapi juga mengandung kritik yang tajam terhadap adapt-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Novel ini pula yang pertama kali menampilkan masalah perkawinan dalam hubungannya dengan persoalan adat, yang kemudian banyak diikuti oleh pengarang-pengarang Indonesia sesudahnya.
Pada tahun 1969, novel ini memperoleh hadiah penghargaan dari pemerintah Indonesia sebagai hadiah tahunan yang diberikan setiap tanggal 17 Agustus- kini Hadiah Tahunan Pemerintah ini tidak dilanjutkan lagi.
Berbagai artikel maupun makalah yang membahas novel ini sudah banyak ditulis oleh para pengamat sastra Indonesia, baik dalam maupun luar negeri. Hingga kini, ulasannya masih terus banyak dilakukan, baik dalam konteks sejarah kesusastraan Indonesia modern, maupun dalam konteks social dan emansipasi wanita.
Di Malaysia, novel ini terbit pula dalam edisi bahasa Melayu. Pada tahun 1963 saja, di Malaysia itu, Sitti Nurbaya sudah mengalami cetak ulang ke-11. Untuk pengajaran sastra di tingkat sekolah lanjutan, novel ini merupakan salah satu novel wajib.
Tahun 1991, TVRI menyiarkan sinetron Sitti Nurbaya dengan pemeran utamanya Novia Kolopaking (sebagai Sitti Nurbaya) dan Gusti Randa (sebagai Samsulbahri).
Inilah ringkasannya.
Sutan Mahmud Syah termasuk salah seorang bangsawan yang cukup terkenal di Padang. Penghulu yang sangat disegani dan dihormati penduduk disekitarnya itu, mempunyai putra bernama Samsulbahri, anak tunggal yang berbudi dan berprilaku baik. Bersebelahan dengan rumah Sutan Mahmud Syah, tinggal seorang Saudagar kaya bernama Baginda Sulaiman. Putrinya, Sitti Nurbaya, juga merupakan anak tunggal keluarga kaya-raya itu.
Sebagaimana umumnya kehidupan bertetangga, hubungan antara keluarga Sutan Mahmud Syah dan keluarga Baginda Sulaiman, berjalan dengan baik. Begitu pula hubungan Samsulbahri dan Sitti Nurbaya. Sejak anak-anak sampai usia mereka menginjak remaja, persahabatan mereka makin erat. Apalagi, keduanya belajar di sekolah yang sama. Hubungan kedua remaja itu berkembang menjadi hubungan cinta. Perasaan tersebut baru mereka sadari ketika Samsulbahri akan berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya.
Sementara itu, Datuk Meringgih, salah seorang saudagar kaya di Padang, berusaha untuk menjatuhkan kedudukan Baginda Sulaiman. Ia menganggap Baginda Sulaiman sebagai saingannya yang harus disingkirkan, di samping rasa iri hatinya melihat harta kekayaan ayah Sitti Nurbaya itu. “Aku sesungguhnya tidak senang melihat perniagan Baginda Sulaiman, makin hari makin bertambah maju, sehingga berani ia bersaing dengan aku. Oleh sebab itu, hendaklah ia dijatuhkan,” demikian Datuk Meringgih berkata (hlm. 92). Ia kemudian menyuruh anak buahnya untuk membakar dan menghancurkan bangunan, took-toko, dan semua harta kekayaan Baginda Sulaiman.
Akal busuk Datuk Meringgih berhasil. Baginda Sulaiman kini jatuh miskin. Namun, sejauh itu, ia belum menyadari bahwa sesungguhnya, kejatuhannya akibat perbuatan licik Datuk Meringgih. Oleh karena itu, tanpa prasangka apa-apa, ia meminjam uang kepada orang yang sebenarnya akan mencelakakan Baginda Sulaiman.
Bagi Datuk Meringgih kedatangan Baginda Sulaiman itu ibarat “Pucuk dicinta ulam tiba”, karena memang hal itulah yang diharapkannya. Rentenir kikir yang tamak dan licik itu, kemudian meminjamkan uang kepada Baginda Sulaiman dengan syarat harus dapat dilunasi dalam waktu tiga bulan. Pada saat yang telah ditetapkan, Datuk Meringgih pun dating menagih janji.
Malang bagi Baginda Sulaiman. Ia tak dapat melunasi utangnya. Tentu saja Datuk Meringgih tidak mau rugi. Tanpa belas kasihan, ia akan mengancam akan memenjarakan Baginda Sulaiman jika utangnya tidak segera dilunasi, kecuali apabila Sitti Nurbaya diserahkan untuk dijadikan istri mudanya.
Baginda Sulaiman tentu saja tidak mau putrid tunggalnya menjadi korban lelaki hidung belang itu walaupun sbenarnya ia tak dapat berbuat apa-apa. Maka, ketika ia sadar bahwa dirinya tak sanggup untuk membayar utangnya, ia pasrah saja digiring polisi dan siap menjalsni hukuman. Pada saat itulah, Sitti Nurbaya keluar dari kamarnya dan menyatakan bersedia menjadi istri Datuk Meringgih asalkan ayahnya tidak dipenjarakan. Suatu putusan yang kelak akan menceburkan Sitti Nurbaya pada penderitaan yang berkepanjangan.
Samsulbahri, mendengar peristiwa yang menimpa diri kekasihnya itu lewat surat Sitti Nurbaya, juga ikut prihatin. Cintanya kepada Sitti Nurbaya tidak mudah begitu saja ia lupakan. Oleh karena itu, ketika liburan, ia pulang ke Padang, dan menyempatkan diri menengok Baginda Sulaiman yang sedang sakit. Kebetulan pula, Sitti Nurbaya pada saat yang sama sedang menjenguk ayahnya. Tanpa sengaja, keduanya pun bertemu lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing.
Ketika mereka sedang asyik mengobrol, datanglah Datuk Meringgih. Sifat Meringgih yang culas dan selalu berprasangka itu, tentu saja menyangka kedua orang itu telah melakukan perbuatan yang tidak pantas. Samsulbahri yang tidak merasa tidak melakukan hal yang tidak patut, berusaha membela diri dari tuduhan keji itu. Pertengkaran pun tak dapat dihindarkan.
Pada saat pertengkaran terjadi, ayah Sitti Nurbaya berusaha datang ke tempat kejadian. Namun, karena kondisinya yang kurang sehat, ia jatuh dari tangga hingga menemui ajalnya.
Ternyata ekor perkelahian itu tak hanya sampai di situ. Ayah Samsulbahri yang merasa maluatas tuduhan yang ditimpakan kepada anaknya, kemudian mengusir Samsulbahri. Pemuda itu terpaksa kembali ke Jakarta. Sementara Sitti Nurbaya, sejak ayahnya meninggal merasa dirinya telah bebas dan tidak perlu lagi tunduk dan patuh kepada Datuk Meringgih. Sejak saat itu ia tinggal menumpang bersama salah seorang familinya yang bernama Aminah.
Sekali waktu, Sitti Nurbaya bermaksud menyusul kekasihnya ke Jakarta. Namun, akibat tipu muslihat dan akal licik Datuk Meringgih yang menuduhnya telah mencuri harta perhiasan bekas suaminya itu, Sitti Nurbaya terpaksa kembali ke Padang. Oleh karena Sitti Nurbaya tidak bersalah, akhirnya ia bebas dari tuduhan. Namun, Datuk Meringgih masih juga belum puas. Ia kemudian menyuruh seseorang untuk meracun Sitti Nurbaya. Kali ini, perbuatannya berhasil. Sitti Nurbaya meninggal karena keracunan.
Rupanya, berita kematian Sitti Nurbaya membuat sedih ibu Samsulbahri. Ia kemudian jatuh sakit, dan tidak berapa lama kemudian meninggal dunia.
Berita kematian Sitti Nurbaya dan ibu Samsulbahri, sampai juga ke Jakarta. Samsulbahri yang merasa amat berduka, mula-mula mencoba bunuh diri. Beruntung, temannya, Arifin, dapat menggagalkan tindakan nekat Samsulbahri. Namun, lain lagi berita yang sampai ke Padang. Di kota ini, Samsulbahri dikabarkan telah meninggal dunia.
Sepuluh tahun berlalu. Samsulbahri kini telah menjadi serdadu kompeni dengan pangkat letnan. Ia juga sekarang lebih dikenal dengan nama Letnan Mas. Sebenarnya, ia menjadi serdadu kompeni bukan karena ia ingin mengabdi kepada kompeni, melainkan terdorong oleh rasa frustasinya mendengar orang-orang yang dicintainya telah meninggal. Oleh karena itu, ia sempat bimbang juga ketika mendapat tugas harus memimpin pasukannya memadamkan pemberontakan yang terjadi di Padang. Bagaimanapun, ia tak dapat begitu saja melupakan tanah leluhurnya itu. Ternyata pemberontakan yang terjadi di Padang itu didalangi oleh Datuk Meringgih.
Dalam pertempuran me;awan pemberontak itu, Letnan Mas mendapat perlawanan cukup sengit. Namun, akhirnya ia berhasil menumpasnya, termasuk juga menembak Datuk Meringgih, hingga dalang pemberontak itu tewas. Namun, Letnan Mas luka parah terkena sabetan pedang Datuk Meringgih.
Rupanya, kepala Letnan Mas yang terluka itu, cukup parah. Ia terpaksa dirawat dirumah sakit. Pada saat itulah timbul keinginan Letnan Mas untuk berjumpa dengan ayahnya. Ternyata, pertemuan yang mengharukan antara “Si anak yang hilang” dan ayahnya itu merupakan pertemuan terakhir sekaligus akhir hayat kedua orang itu. Oleh karena setelah Letnan Mas menyatakan bahwa ia Samsulbahri, ia mengembuskan napas di depan ayahnya sendiri. Adapun Sutan Mahmud Syah, begitu tahu bahwa Samsulbahri yang dikiranya telah meninggal beberapa tahun lamanya tiba-tiba kini tergolek kaku menjadi mayat akhirnya pun meninggal dunia pada keesokan harinya.

AZAB DAN SENGSARA

(KISAH KEHIDUPAN SEORANG GADIS)

Pengarang : Merari Siregar
Penerbit : Balai Pustaka
Umumnya, para pengamat sastra Indonesia menempatkan novel Azab dan sengsara ini sebagai novel pertama di Indonesia dalam khazanah kesusastraan Indonesia modern. Penempatan novel ini sebagai novel pertama lebih banyak didasarkan pada anggapan bahwa kesusastraan Indonesia modern lahir tidak dari peran berdirinya Balai Pustaka. 1917, yang cikal bakalnya berdiri tahun 1908. Sungguhpun sebenarnya tidak sedikit novel yang terbit sebelum Balai Pustaka berdiri, dalam hal pemakaian bahasa Melayu sekolahan, Azab dan Sengsara yang mengawalinya. Dalam konteks itulah novel ini menempati kedudukan penting.
Tema Azab dan Sengsara sendiri yang mempermasalahkan perkawinan dalam hubungan nya dengan harkat dan martabat keluarga, bukanlah hal yang baru. Novel-novel yang terbit di luar Balai Pustaka-yang umumnya menggunakan bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar-juga banyak yang bertema demikian. Novel bahasa Sunda, Baruang ka Nu Ngora (Racun Bagi Kaum Muda; 1914) karya D.K. Ardiwinata (1866-1947) yang diterbitkan Balai Pustaka, juga bertema perkawinan dalam hubungannya dengan harkat dan martabat keluarga. Jadi, secara tematik, novel Azab dan Sengsara, belumlah secara tajam mempermasalahkan perkawinan dalam hubungannya dengan adat.
Ini ringkasannya
Aminuddin adalah anak Baginda Diatas, seorang kepala kampong yang terkenal kedermawanan dan kekayaannya. Masyarakat disekitar Sipirok amat segan dan hormat kepada keluarga itu. Adapun Mariamin, yang masih punya ikatan dengan keluarga itu, kini tergolong anak miskin. Ayah Mariamin, Sutan Baringin almarhum, sebenarnya termasuk keluarga bangsawan kaya. Namun, karena semasa hidupnya terlalu boros dan serakah, ia akhirnya jatuh miskin dan meninggal dalam keadaan demikian.
Bagi Aminuddin, kemiskinan keluarga itu tidaklah menghalanginya unuk tetap bersahabat dengan Mariamin. Keduanya memang sudah berteman akrab sejak kecil dan terus meningkat hingga dewasa. Tanpa terasa benih cinta kedua remaja itu pun tumbuh subur. Belakangan, mereka sepakat untuk hidup bersama, membina rumah tangga. Aminuddin pun berjanji hendak mempersunting gadis itu jika kelak ia sudah bekerja. Janji pemuda itu akan segera dilaksanakan jika ia sudah mendapat pekerjaan di Medan. Aminuddin segera mengirim surat kepada kekasihnya bahwa ia akan segera membawa Mariamin ke Medan.
Berita itu tentu saja amat menggermbirakan hati Mariamin dan ibunya yang memang selalu berharap agar kehidupannya segera berubah. Setidak-tidaknya, ia dapat melihat putrinya hidup bahagia.
Niat Aminuddin itu disampaikan pula kepada kedua orang tuanya. Ibunya sama sekali tidak berkeberatan. Bagaimanapun, almarhum ayah Mariamin masih kakak kandungnya sendiri. Maka, jika putranya kelak jadi kawin dengan Mariamin, perkawinan itu dapatlah dianggap sebagai salah satu usaha menolong keluarga miskin itu.
Namun, lain halnya pertimbangan Baginda Diatas, Ayah Aminuddin. Sebagai kepala kampung yang kaya dan disegani, ia ingin agar anaknya beristrikan orang yang sederajat. Menurutnya, putranya lebih pantas kawin dengan wanita dari keluarga kaya dan terhormat. Oleh karena itu, jika Aminuddin kawin dengan Mariamin, perkawinan itu sama halnya dengan merendahkan derajat dan martabat dirinya. Itulah sebabbya, Baginda Diatas bermaksud menggagalkan niat putranya.
Untuk tidak menyakiti hati istrinya, Baginda Diatas mengajaknya pergi ke seorang dukun untuk melihat bagaimana nasib anaknya jika kawin dengan Mariamin. Sebenarnya, itu hanya tipu daya Baginda Diatas. Oleh karena sebelumnya, dukun itu sudah mendapat pesan tertentu, yaitu memberi ramalan yang tidak menguntungkan rencana dan harapan Aminuddin. Mendengar perkataan si dukun bahwa Aminuddin akan mengalami nasib buruk jika kawin dengan Mariamin, ibu Aminuddin tidak dapatberbuat apa-apa selain menerima apa yang menurut suaminya baik bagi kehidupan anaknya.
Kedua orang tua Aminuddin akhirnya meminang seorang gadis keluarga kaya yang menurut Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan dan kekayaannya. Aminuddin yang berada di Medan, sama sekali tidak mengetahui apa yang telah dilakukan orang tuanya. Dengan penuh harapan, ia tetap menanti kedatangan ayahnya yang akan membawa Mariamin.
Selepas peminangan itu, ayah Aminuddin mengirim telegram kepada anaknya bahwa calon istrinya akan segera dibawa ke Medan. Ia juga meminta agar Aminuddin menjemputnya di stasiun.
Betapa sukacita Aminuddin setelah membaca telegram ayahnya. Ia pun segera mempersiapkan segala sesuatunya. Ia membayangkan pula kerinduannya pada Mariamin akan segera terobati.
Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ternyata, ayahnya bukan membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang bernama Siregar. Sungguhpun begitu, sebagai seorang anak, ia harus patuh pada orang tua dan adapt negerinya. Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima gadis yang dibawa ayahnya. Perkawinan pun berlangsung dengan keterpaksaan yang mendalam pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia mengabarkannya pada Mariamin.
Bagi Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya. Harapannya musnah sudah. Ia pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak terlukiskan kekecewaan hati gadis itu.
Setahun setelah peristiwa itu, atas kehendak ibunya, Mariamin terpaksa menerima lamaran Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya tidak diketahui asal-usulnya. Ibunya hanya tahu, bahwa Kasibun seorang kerani yang bekerja di Medan. Menurut pengakuan lelaki itu, ia belum beristri. Dengan harapan dapat mengurangi penderitaan ibu-anak itu, ibu Mariamin terpaksa menjodohkan anaknya dengan Kasibun. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu baru saja menceraikan istrinya hanya karena akan mengawini Mariamin.
Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Namun rupanya, penderitaan wanita itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata mengidap penyakit berbahaya yang dapat menular bila keduanya melakukan hubungan suami-istri. Inilah sebabnya, Mariamin selalu menghindar jika suaminya ingin berhubungan intim dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin bukan kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan Kasibun menyiksanya dengan kejam.
Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian itu, secara kebetulan, Aminuddin dating bertandang. Sebagaimana lazimnya kedatangan tamu, Mariamin menerimanya dengan senang hati, tanpa prasangka apa pun. Namun, bagi Kasibun, kedatangan Aminuddin itu makin mengobarkan rasa cemburu dan amarahnya. Tanpa belas kasihan, ia menyiksa istrinya sejadi-jadinya.
Tak kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin akhirnya mengadu dan melaporkan tindakan suaminya kepada polisi. Polisi kemudian memutuskan bahwa Kasibun harus membayar denda dan sekaligus memutuskan hubungan tali perkawinan dengan Mariamin.
Janda Mariamin akhirnya terpaksa kembali ke Sipirok, kampong halamannya. Tidak lama kemudian, penderitaay yang silih berganti menimpa wanita itu, sempurna sudah dengan kematiannya. “Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jasad yang kasar itu.”

ucapan dari putra

Powered by Blogger